Pukul 09.00, mentari bersinar sangat terik sedari pagi seolah ingin menghisap habis sisa-sisa hujan yang seminggu ini memayungi langit. Aku diperjalanan pulang dari pasar, seperti biasa, membeli kebutuhan dapur untuk satu minggu. Jalanan tidak begitu ramai, hingga di salah satu pertigaaan Jalan Harapan Raya lampu merah menyala, aku berhenti. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada sesosok anak laki-laki usia remaja, memakai baju abu-abu dan celana selutut abu tua, sebuah tas kecil terselempang membalut tubuhnya. Duduk sendiri di pembatas tengah jalan, bermandi peluh ditimpa matahari. Anak itu menatap kosong ke langit, kemudian tersenyum entah dengan siapa, masih menghadap langit. Ya Allah, seketika hati ini menyadari, anak laki-laki itu keterbelakangan mental. Dari balik kaca mobil kucoba kulihat ukuran tubuhnya normal, tapi sepertinya dia punya masalah dengan kaki, dengan jarak seperti sekarang dengan dua mobil berada di depan, aku tidak bisa melihat dengan begitu jelas bagaimana rupa kakinya, kaki itu terlipat dan sesekali ia selunjurkan, mungkin untuk menghilangkan penatnya duduk di pembatas jalan itu. Lampu hijau menyala, saat melewatinya kulontarkan selembar uang ke arahnya, pikirku mungkin ia adalah penghuni baru pertigaan ini. Karena setelah hampir setahun melewati jalan ini untuk mengantar dan menjemput anakku ke sekolah dan berbelanja ke pasar, baru kali ini dia terlihat. Biasanya yang mangkal disini sepasang suami istri dengan suaminya yang buta dan seorang ibu yang menggendong bayi berkeliling meminta belas kasihan pengendara yang terhenti di lampu merah ini.
Pukul 11.00, lagi-lagi melewati
jalan Harapan Raya, mengantar sulungku sekolah. Sepulang dari mengantar si
kakak, kembali aku dihadang lampu merah pertigaan itu. Kali ini aku berhenti
tepat di depan anak laki-laki tadi, dia masih duduk ditempat yang sama, dengan
posisi yang sama. Allah, aku bisa melihat dengan jelas, selain keterbelakangan
mental, kakinya cacat, bentuknya pipih dan bengkok. Aku yakin dia tidak bisa
berjalan dengan kondisi kaki seperti itu. Lalu siapa yang meletakkannya disini?
Terpanggang matahari yang semakin terik. Anak siapa dia? Tidak mungkin dia bisa
tiba-tiba duduk di tengah pembatas jalan dua jalur ini. Dengan kondisi mental
seperti yang terlihat rasanya juga tidak mungkin dia berinisiatif ngesot
ketengah sini, menyeberangi jalan yang lumayan ramai dilalui motor dan mobil.
Gerakannya pasti sangat terbatas, akalnya tidak memungkinkan dia untuk berfikir
bisa berada ditempat ini. Pasti seseorang yang sengaja membawa dan meninggalkannya
ditengah-tengah sini. Keringat bercucuran, menghisap debu jalan dan asap
kendaraan yang lalu lalang tiada henti karena jalur ini lumayan padat setiap
harinya. Lampu hijau menyala, kupacu kendaraan menuju rumah dengan harapan ada
yang segera mengambil dan membawanya pulang. Ya Allah lindungi anak itu.
Pukul 13.30, aku menjemput
si kakak dari sekolah. Karena ujian sudah selesai hari Sabtu kemaren, hari ini
kegiatan di sekolah tidak begitu banyak, jadi pulang lebih cepat dari biasanya.
Melewati jalan Harapan Raya, mendekati pertigaan, mataku mencari-cari si anak
lelaki berbaju abu, tidak kutemukan dia di tengah jalan. Aku lega berarti dia
sudah pergi atau sudah diambil oleh orang yang meletakkannya di sana. Baru saja
kata syukur terucap dari bibir ini, tiba-tiba mataku menangkap seorang
laki-laki berdiri di badan jalan sebelah kiri, menenteng remaja berbaju abu, ya
menenteng bukan menggendong, karena dia memegangi bagian ketiak anak itu kiri
dan kanan, posisi tubuhnya menggantung, pasti rasanya tidak nyaman sekali
dengan posisi seperti itu. Sepertinya pria itu hendak menyeberang, kulajukan
kendaraan pelan-pelan melewati mereka, kuamati, wajah pria setengah baya yang menenteng
itu sangat mirip dengan si bocah abu. Sepertinya itu ayahnya. Duh…hatiku
mencelos, rupanya pria ini yang telah tega meletakkan anak malang ini di tengah
jalan.
Sepulang dari sekolah,
pastinya aku kembali melewati pertigaan itu. Di sana, anak laki-laki itu duduk di
posisi semula, sendiri, berteman debu, asap dan sinar matahari.
Aku kehabisan kata
untuk diucapkan dalam hati, tiga kali bolak balik melewati jalan ini sedari
pagi, membuka matahati. Mungkin pergi dari dunia ini akan lebih baik baginya,
berada disisi-Nya, daripada harus hidup disia-siakan seperti itu, dijadikan
pengemis. Teganya! Tabah ya nak, semoga Allah selalu melindungimu, memberi yang
terbaik buatmu. Kau tahu Nak? Sebenarnya surga telah menantimu.